Rabu, 10 Agustus 2011

Manhaj Al Bait Al Atiq


MANHAJ AL BAIT AL ATIQ ( METODOLOGI RUANG KA’BAH )

Dalam mencoba menjawab berbagai pertanyaan yang dihadapi umat Islam, perlulah kiranya kita menggali kembali dengan seksama  tanda – tanda yang terdapat di dalam Islam itu sendiri.
Pola susunan Al Qur’an merupakan sebuah tanda yang perlu kita pikirkan karena tidaklah mungkin susunan Al Qur’an tersebut dibuat oleh manusia karena sejak zaman purba hingga saat Al Qur’an tersebut disusun, belum pernah ada satu kitab atau tulisan sekalipun yang memiliki pola seperti Al Qur’an pada perkembangan kebudayaan manusia dimanapun di muka bumi ini.
Pola susunan Al Qur’an ini pastilah merupakan pesanan dari Sang Pembuat Hukum, Allah, Tuhan Semesta Alam.
Al Qur’an memiliki pola susunan yang terputus – putus dan berulang – ulang merupakan sebuah tanda yang harus diperhatikan sebagaimana kita diwajibkan untuk memperhatikan Al Qur’an tersebut.
Pola susunan Al Qur’an ini merupakan sebuah rekaman pola gerak dalam ritual ibadah Thawaf, yaitu ibadah mengelilingi bangunan Ka’bah. Sebuah ritual berkeliling Ka’bah yang di mulai dari Hajar Aswad, Multazam, Pintu, Hijir Ismail , Rukun Irak, Rukun Yaman dan kembali ke titik mula perjalanan yaitu Hajar Aswad dan ini diulang sebanyak 7 kali sebagaimana Allah menyatakan bahwa Al qur’an merupakan 7 ayat yang diulang – ulang.
Pola gerak melingkar ini bila kita runtut dan kita ucapkan dengan kata – kata merupakan sebuah gerak yang terputus – putus karena bagian Ka’bah yang kita lewati dalam satu lingkaran Thawaf adalah bagian yang berbeda – beda dan gerakan inipun berulang – ulang sebanyak 7 kali.
Dalam melaksanakan ritual Thawaf tadi, kita menjadikan Ka’bah sebagai pusat gerakan kita. Dimana Ka’bah merupakan sebuah bangunan yang membentuk sebuah ruang di dalamnya yang dapat kita ambil maknanya.
Ka’bah merupakan arah qiblat kita , arah sujud kita yang mencerminkan kepatuhan, ketundukan yang dalam atas segala ketetapan / takdir Allah dan Ka’bah adalah sebuah ruang.

Inilah pokok dasar metodologi ruang Ka’bah yang akan kita uji coba menanggapi berbagai permasalahan yang kita hadapi bersama dan pada tulisan ini akan kita bahas bagaimana metodologi ini membuka pemahaman kita tentang :

1. Takdir Allah.
2. Makna Tauhid dan Wujud Allah lewat Asmaul Husna.
3. Pola ruang Ka’bah menafsirkan Al Qur’an.

1. Takdir Allah.

Sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan pokok tentang metodologi ruang Ka’bah, kita mengetahui bahwa kita sujud ke arah sebuah ruang, ke arah pola takdir / ketentuan Allah.
Takdir Allah adalah sebuah ruang yang memberikan kebebasan bergerak bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dijanjikan Allah untuk selalu mendapat petunjuk dari Nya yaitu Islam yang bermakna damai dan tidak ada kedamaian tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa kebebasan gerak dan tidak ada kebebasan gerak tanpa adanya ruang bagi gerak tersebut.
Mari kita coba membuat sebuah perumpamaan yaitu ketika kita memasuki sebuah ruangan dimana di dalam ruangan tersebut telah terdapat dinding dan lantainya.
Pada lantai ruangan tersebut telah terdapat pola garis – garis lantai / ubin / keramik lantai yang saling bersilangan satu dengan yang lainnya.
Ketika kita memasuki ruangan tersebut, garis – garis lantai itu telah ada sejak awal kita memasuki ruangan tersebut dan akan tetap ada tidak berubah kecuali bangunan itu dibongkar.
Garis – garis lantai tadi diibaratkan merupakan garis – garis ketetapan Allah dimana garis – garis tersebut sudah ada sejak awal dan tidak berubah sama sekali, namun ternyata garis – garis yang bersilangan itu membentuk ruang gerak bagi manusia dimana manusia memiliki kebebasan dalam memilih garis – garis mana yang akan dia lewati.
 Garis – garis yang telah manusia lewati itu menjadi catatan perbuatan manusia, sedangkan yang belum dilewati masih menjadi misteri bagi manusia dan dalam menjalani garis – garis tersebut, seorang muslim diwajibkan berdoa kepada Allah agar terhindar untuk memilih garis yang merugikan kebebasan hidupnya karena di dalam ruangan tersebut berlaku suatu energi kekuatan yang mampu membuka atau menutup garis / jalan di dalam ruangan tersebut.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa takdir Allah adalah ketetapan yang detail dan bersifat mutlak tidak dapat berubah sejak awal hingga akhir, namun ketetapan Allah tersebut membentuk pola ruang sebagaimana pola susunan Al Qur’an dan pola gerak thawaf yang memberikan ruang kepada manusia untuk dapat bergerak dengan bebas.
Melalui pola ruang Al Qur’an inilah kita kemudian mendapatkan pemahaman yang dapat menyatukan paham Jabariyah (fatalisme) dan Qadariyah (Free will).
Jabariyah dan Qadariyah memiliki dasar hukum yang jelas dalam Al Quran dan keduanya tidak dapat kita abaikan begitu saja. Namun sesungguhnya kedua paham tadi hanya mengambil sebagian saja dari ayat - ayat di dalam Al Quran atau dalam bahasa pola ruang Al Quran ini berarti membangun garis di dalam ruang hingga berakibat pada sempitnya pola gerak manusia. 

2. Makna Tauhid dan Wujud Allah lewat Asmaul Husna.

Ajaran Tauhid merupakan inti dari pesan wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul – Nya.Ajaran Tauhid merupakan sepertiga dari isi tema Al  Qur’an.
Kemudian wahyu yang diturunkan menerangkan tentang makna tauhid dan wujud Allah  dalam Al – Qur’an yang mencantumkan Nama – Nama dan Sifat – Sifat Allah dan diterangkan juga oleh Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan bahwa Allah memiliki 99 Nama yang kita sebut Asma’ul Husna.
Asma’ul Husna merupakan kunci jawaban pokok tentang ajaran Tauhid dan juga jalan menemukan wujud Allah jika kemudian kita letakkan dalam pola gerak Al  Qur’an yaitu pola gerak ruang.
Asma’ul Husna merupakan Nama – Nama Allah yang memiliki Sifat – Sifat tertentu sesuai dengan Nama yang disebutkan.

99 Nama tersebut berdasarkan Hadis Nabi SAW adalah:

  1. ALLAH
  2. AR RAHMAN
  3. AR RAHIM
  4. AL MAALIK
  5. AL QUDDUUS
  6. AS SALAAM
  7. AL MU’MIN
  8. AL MUHAIMIN
  9. AL AZIIZ
  10. AL JABBAR
  11. AL MUTAKABBIR
  12. AL KHALIQ
  13. AL BAARI’
  14. AL MUSAWWIR
  15. AL GHAFFAAR
  16. AL QAHHAAR
  17. AL WAHHAAB
  18. AR RAZZAQ
  19. AL FATTAAH
  20. AL ALIIM
  21. AL QAABIDH
  22. AL BAASITH
  23. AL KHAAFIDH
  24. AR RAAFI
  25. AL MUIZZ
  26. AL MUDZIIL
  27. AS SAMII’
  28. AL BASHIIR
  29. AL HAKAM
  30. AL ADL
  31. AL LATHIIF
  32. AL KHABIIR
  33. AL HALIIM
  34. AL AZIIM
  35. AL GHAFUUR
  36. ASY SYAKUUR
  37. AL ALIYY
  38. AL KABIIR
  39. AL HAFIDH
  40. AL MUQIIT
  41. AL HASIIB
  42. AL JALIIL
  43. AL KARIIM
  44. AR RAQIIB
  45. AL MUJIIB
  46. AL WAASI’
  47. AL HAKIIM
  48. AL WADUUD
  49. AL MAJIID
  50. AL BAAITS
  51. ASY SYAHIID
  52. AL HAQ
  53. AL WAKIIL
  54. AL QAWWIYY
  55. AL MATIIN
  56. AL WALIIY
  57. AL HAMIID
  58. AL MUHSHI
  59. AL MUBDI
  60. AL MUIID
  61. AL MUHYII
  62. AL MUMIIT
  63. AL HAYY
  64. AL QAYYUUM
  65. AL WAAJID
  66. AL MAJIID
  67. AL WAAHID
  68. ASH SHAMAD
  69. AL QAADIR
  70. AL MUQTADIR
  71. AL MUQADDIM
  72. AL MUAKHKHIR
  73. AL AWWAL
  74. AL AAKHIR
  75. AZH ZHAAHIR
  76. AL BAATHIN
  77. AL WAALII
  78. AL MUTA’AALI
  79. AL BARR
  80. AT TAWWAAB
  81. AL MUNTAQIM
  82. AL AFUWW
  83. AR RAUUF
  84. MAALIKUL MULKI
  85. DZUL JALLALI WAL IKRAAM
  86. AL MUQSITH
  87. AL JAAMI
  88. AL GHANIYY
  89. AL MUGHNII
  90. AL MAANI
  91. ADH DHAARR
  92. AN NAAFI
  93. AN NUUR
  94. AL HAADII
  95. AL BADII
  96. AL BAAQII
  97. AL WAARITS
  98. AR RASYIID
  99. ASH SHABUUR


Jika kita amati dengan seksama ke 99 Asma’ul Husna adalah Nama – Nama Yang memiliki sifat - sifat  yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, jika kita menafsirkannya dalam pola garis.
Namun bila kita menggunakan pola gerak Al – Qur’an yang merupakan pola ruang, kita mengetahui dan menyadari bahwa Nama – Nama Yang memiliki sifat - sifat  tersebut bukanlah hal yang saling bertentangan, melainkan saling mengisi dan merupakan satu kesatuan yang utuh yang membawa fikiran kita pada  pemahaman yang benar tentang Allah, Tuhan semesta Alam.
Seperti contoh jika kita memikirkan sesuatu tentang wujud Tuhan dan ketika angan – angan kita membentuk suatu wujud tertentu, maka wujud tersebut akan ditolak oleh pikiran kita sebagai Tuhan karena apapun yang kita bayangkan pastilah memiliki keterbatasan bentuk sedangkan Tuhan dalam pikiran kita haruslah tidak terbatas dan tidak serupa dangan mahluk.
Demikian pula jika kita beranggapan bahwa Tuhan bertempat pada suatu benda, maka pastilah itu bukan Tuhan yang sesungguhnya, karena Allah, Tuhan semesta Alam itu Adalah Tuhan Yang Maha Besar dan Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Jika Allah menerangkan keberadaan Wajah dan Tangan Nya, maka tidaklah dapat kita membayangkan maksud tangan disini sebagai tangan sebagaimana wujud tangan dan wajah yang kita lihat sehari hari.
Jika kita berfikir bahwa Tuhan itu jauh, maka berarti itu bukanlah Tuhan, karena Tuhan haruslah meliputi segala sesuatu yang berarti Tuhan itu dekat. Namun dekatnya Tuhan itu bukan berarti ada di sekitar kita karena Tuhan itu tidak bertempat pada mahluk.
Ketetapan dasar pengetahuan manusia tentang Tuhan itu telah dijelaskan lewat pola Asmaul Husna yang menyeluruh dan terintegrasi secara utuh.
Intinya adalah apapun pemahaman yang kita simpulkan tentang Allah, jika melanggar salah satu Asmaul Husna tersebut, maka kesimpulan tersebut pastilah salah karena tidak akan memuaskan akal pikiran / logika kita.
Ada sebuah kisah yang terdapat dalam Al Qur’an ketika Nabi Musa as sangat berkeinginan melihat wujud Allah. Allah mengabulkan permohonan Nabi Musa tersebut yang malahan membuat Nabi Musa as memohon ampun atas permintaannya tersebut. Hal ini dikarenakan Nabi Musa as kemudian menyadari bahwa permohonannya tersebut adalah hal yang menyalahi makna tauhid dimana Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar atas wujud dan energi Nya. Itulah yang membuat bukit Sinai bergetar.
Permohonan tersebut tetap dikabulkan oleh Allah karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengabulkan Doa dan Maha Mengetahui keadaan / kondisi umat Nya. Allah mengetahui bahwa Musa as adalah seorang manusia yang di besarkan dalam lingkungan paganisme, hidup bersama Fir’aun, jadi tetap saja di dalam diri Musa as terbetik keinginan untuk mengetahui wujud Tuhannya, sebagaimana kaum pagan memiliki wujud tuhan mereka. Hal manusiawi yang lahir dari kondisi lingkungan hidup Nabi Musa as.
Islam sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi musa as adalah agama Tauhid yang memuaskan logika manusia, yang berpatokan pada Asmaul Husna. Maka bila ada ketentuan dalam Asmaul Husna tersebut diabaikan, maka hal tersebut bukanlah maksud dari ajaran Islam yang diharapkan karena akan mempersempit ruang gerak hidup manusia dan “merusak aturan main” yang telah ditetapkan.
Nabi Musa as bertobat atas permintaannya tersebut kepada Allah. Dalam kisah ini, Allah menampakkan wujudNya dalam bentuk api karena api inilah yang sedang dibutuhkan Nabi Musa as ketika hendak bermalam di bukit Sinai.

3. Pola ruang Ka’bah menafsirkan Al Qur’an.

Kita dapat mencoba membuka pemahaman takdir Allah lewat pola ruang Ka’bah pada peristiwa penciptaan Adam dan pembangkangan syaitan atas keengganannya untuk sujud kepada Adam.
Kita dapat memulai pembahasan ini lewat Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 30 – 39 karena uraian tentang hal ini banyak menimbulkan silang pendapat di antara para ulama.

Ayat 30 :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?” Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Pada ayat ini kita dapat melihat bahwa Allah berkehendak menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, namun kehendak Allah ini dipertanyankan oleh para malaikat yang merasa bahwa mereka selama ini telah bertasbih dan memuji Allah yang dapat kita simpulkan bahwa mengapa Allah tidak menunjuk mereka ( para malaikat ) untuk menjadi khalifah di muka bumi alih - alih menciptakan mahluk baru ( manusia - Adam ) untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dalam kisah ini kita dapat meraba bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan ruang kebebasan bagi para malaikat dalam menjalankan hidupnya. Hal ini terlihat dari pernyataan yang mereka lontarkan bahwa manusia yang diciptakan Allah kelak akan melakukan kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi yang berarti mereka memiliki pengetahuan dimana pengetahuan tersebut dapat diperoleh lewat gerak ibadah yang mereka lakukan. Kemudian kemampuan para malaikat untuk mempertanyakan keputusan Allah untuk menciptakan mahluk baru ( manusia ) untuk menjadi khalifah di muka bumi, menandakan bahwa mereka memilki kebebasan dalam mempertanyakan hal tersebut dan kebebasan ini hanya mungkin didapat jika memiliki ruang gerak kebebasan untuk melakukan hal tersebut.
Namun pernyataan pengetahuan dan pertanyaan para malaikat itu dijawab Allah bahwa apa yang para malaikat ketahui belum cukup untuk mengukur apa yang Allah ketahui. Jawaban Allah atas pernyataan pengetahuan dan pertanyaan para malaikat itu juga mengandung arti bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik seluruh ibadah yang dilakukan para malaikat tersebut dan ini  terbukti pada saat dilontarkannya pernyataan pengetahuan dan pertanyaan para malaikat atas keputusan Allah tersebut selain itu ada hal yang akan terungkap pada penjelasan ayat – ayat selanjutnya.

Ayat 31 :

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama – nama (benda – benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda – benda itu jika kamu memang orang – orang yang benar!”

Allah mengajarkan kepada Adam nama – nama benda dan Allah menantang para malaikat untuk menyebutkan nama – nama benda yang telah diajarkan kepada Adam.
Allah mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang nama – nama benda karena Adam adalah mahluk yang baru saja diciptakan. Sedangkan para malaikat yang selama ini menyatakan bahwa mereka selalu beribadah kepada Allah dan menyatakan pengetahuannya kepada Allah tentang sifat dari mahluk yang diciptakan Allah, yaitu manusia, untuk menjadi khalifah di muka bumi, ternyata tidak memiliki kemampuan dalam menyebutkan nama – nama benda yang dipertanyakan oleh Allah jika memang para malaikat itu merasa bahwa memang merekalah yang berhak untuk dijadikan khalifah di muka bumi.

Ayat 32 :

Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Para malaikat kemudian menyadari bahwa apa yang telah mereka ketahui ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan dari Allah dan ternyata apa yang mereka peroleh selama ini tidaklah cukup untuk menjawab pertanyaan dari Allah dan para malaikat menyadari bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana karena pada saat itu Para malaikat menyadari kesalahannya dan menginginkan kebijaksanaan Allah atas kesalahan yang mereka lakukan.

Ayat 33 :

Allah berfirman : Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama – nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama – nama benda itu, Allah berfirman : Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”.

Adam menunjukkan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya untuk menyebutkan nama- nama benda dan disini Allah menyatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang nyata maupun yang tersembunyi.


Ayat 34 :

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang – orang yang kafir.

Allah menunjukkan Kemahabijaksanaannya dalam masalah ini atas kesalahan yang dilakukan para malaikat atas pernyataan pengetahuan dan pertanyaan mereka atas peristiwa penciptaan Adam dan penunjukannya sebagai khalifah di muka bumi dengan memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Para malaikat lalu sujud kepada Adam karena mereka mengetahui bahwa mereka telah membuat kesalahan yang fatal yang membuat ibadah mereka selama ini sia – sia karena tidak mampu menangkap esensi dari ibadah yang mereka lakukan. Namun pada saat yang sama tidak semua malaikat mau melaksanakan perintah Allah tersebut. Perintah untuk sujud kepada Adam adalah perintah yang teramat berat, namun hal ini dikarenakan para malaikat tersebut selama ini ternyata telah berlaku tidak semestinya berdasarkan pengethuan yang selama ini telah mereka peroleh lewat ibadah yang mereka lakukan, maka perintah sujud tersebut harus mereka lakukan.
Diantara para malaikat itu ternyata ada yang tidak mau melaksanakan perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Dia adalah iblis yang takabur karena tetap merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan manusia
Peristiwa penolakan iblis untuk sujud kepada Adam ternyata membuka tabir misteri atas kehendak Allah menciptakan Adam. Jika kita mundur kebelakang pada surat Al Baqarah ayat 30 yang menimbulkan keterkejutan para malaikat bahwa ternyata untuk jabatan khalifah di muka bumi, Allah malah menciptakan mahluk baru ( manusia ) daripada menunjuk mereka para malaikat, maka pada surat Al Baqarah ayat 34 kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah benar – benar mengetahui apa yang para malaikat tidak ketahui dimana ternyata diantara mereka ada yang benar – benar memiliki tujuan lain dalam beribadah kepada Allah bukan saja mempertannyakan keputusan Allah malahan ternyata menentang keputusan Allah yang telah memberikan jalan taubat saat memerintahkan mereka untuk sujud kepada Adam dan ini merupakan salah satu contoh bagaimana Al Qur’an menerjemahkan dirinya sendiri (koneksitas ayat dalam pola ruang).

Ayat 35 :

Dan Kami berfirman : “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan – makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang – orang yang zalim.

Pada ayat ini kita dapat melihat bahwa Adam yang baru saja diciptakan Allah dan dijadikan khalifah di muka bumi itu diperintahkan untuk tinggal di dalam surga diberikan kenikmatan, namun diuji untuk tidak mendekati sebuah pohon yang ada di surga. Inilah ujian pertama bagi manusia yang diberikan oleh Allah. Mengapa demikian ? jika memang manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah dimuka bumi, mengapa harus melalui ujian tersebut ?.
Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil dalam setiap keputusanNya. Malaikat telah mengalami ujian sebelum Adam diciptakan dengan diberikan kebebasan untuk hidup dan beribadah namun kemudian dalam perjalanan hidupnya mereka gagal memaknai arti beribadah kepada Allah karena tujuan ibadah mereka ternyata tidak sepenuhnya hanya kepada Allah namun juga ternyata menginginkan untuk menjadi khalifah di muka bumi.  Salah seorang dari mereka (iblis) gagal total terjamin masuk neraka, memohon diberi tangguh hingga hari kiamat dan berjanji untuk menggoda manusia untuk ikut masuk neraka, sedangkan yang lainnya “sukses dengan catatan” menjadi mahluk yang selalu tunduk dan patuh kepada perintah Allah.

Ayat 36 :

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu ! sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”.

Ternyata Adam melanggar perintah Allah, bukan saja melanggar perintah mendekati pohon yang dimaksud, akibat rayuan iblis yang telah diberi tangguh oleh Allah dengan jaminan masuk neraka pada akhir hidupnya dan pemberian tangguh inipun merupakan bukti bahwa Allah Maha Adil karena iblis telah menjual dirinya dengan api neraka sebagaimana banyak manusia pada saat ini menjual dirinya kepada iblis agar mendapatkan banyak keuntungan duniawi.
Kembali kepada kisah Adam, Adam telah melanggar perintah Allah dan diusir dari surga turun ke bumi dan Allah menyatakan bahwa sebagian manusia akan menjadi musuh bagi sebagian yang lainnya sebagaimana para malaikat telah menyatakan pengetahuan yang diperolehnya dari ilmu Allah bahwa manusia adalah mahluk yang akan menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi.
Penciptaan karakter manusia yang diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini merupakan salah satu bukti lagi bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil karena untuk menjabat sebagai khalifah yang berarti mendiami, menguasai dan mengelola bumi, manusia harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap berbagai gangguan yang muncul dari alam sekitarnya (survival) dan dalam mempertahankan diri, manusia harus memiliki kemampuan untuk menumpahkan darah dan membuat kerusakan sebagai bagian dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya seperti membajak sawah, membuat bendungan, menebang pohon untuk membangun tempat tinggal dan berperang untuk mempertahankan diri, walaupun hal ini terkadang dilakukan secara berlebihan.
Kenyataan bahwa malaikat menyatakan bahwa manusia akan menumpahkan darah dan membuat kerusakan, ternyata itu merupakan hal yang sengaja diciptakan Allah sesuai dengan fungsi mahluk yang menjabat khalifah di muka bumi.
Timbul sebuah pertanyaan, apakah jika Adam tidak melanggar perintah Allah maka dia tidak akan turun ke bumi ? jawabanya adalah bahwa Adam tetap akan turun ke muka bumi sebagaimana tujuan penciptaanya, namun dapat kita saksikan bahwa Adam turun ke bumi dengan cara diusir sebelum lengkap benar pengetahuannya tentang apa dan bagaimana seharusnya aturan main seorang khalifah di muka bumi.


 Ayat 37 :

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha penyayang.

Adam menerima beberapa kalimat dari Allah yang menurut para ulama merupakan kalimat taubat berdasarkan kenyataan bahwa Allah menerima taubat Adam dimana jika Allah menerima taubat Adam maka pastilah kalimat yang diterima Adam dari Allah adalah kalimat taubat dan kalimat itulah yang diutarakan Adam kepada Allah dan hal ini membuktikan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat ini membuktikan bahwa Adam sebagai mahluk yang baru diciptakan ini belum memiliki cukup pengetahuan untuk dapat bertaubat sekalipun.

Ayat 38 :

Kami berfirman : “Turunlah kamu semua dari suga itu ! Kemudian jika datang petunjuk Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

 Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk turun dari surga menuju ke muka bumi setelah Allah menerima taubat mereka dan Allah berjanji untuk memberikan petunjuk Nya kepada manusia dengan menyatakan bahwa jika manusia mengikuti petunjuk Allah maka tidak ada kekhawatiran dan perasaan bersedih hati pada diri mereka karena ternyata apa yang menjadi petunjuk Allah adalah jalan menuju kebebasan yang sesungguhnya.

Ayat 39 :

Adapun orang – orang yang kafir dan mendustakan ayat – ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dan jika manusia tidak mengikuti dan mendustakan petunjuk Allah, maka mereka akan menemani iblis di dalam neraka. Ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah Maha Adil dimana manusia yang hidup setelah Adam akan selalu diberi petunjuk, namun terserah kapada pribadi masing - masing manusia untuk memilih jalan hidupnya karena Allah menciptakan takdirNya dalam bentuk ruang yang tercipta dari absolusitas  hukum – hukumNya.

Masih banyak pertanyaan yang timbul dalam kisaran ayat ayat yang disebutkan di atas juga dalam ayat – ayat Al Qur’an yang lainnya, namun lewat pola ruang Ka’bah, mudah – mudahan hal ini dapat terjawab dengan baik dan benar. Wallahu’alam bissawab.
Lihat juga tulisan di halaman ini tentang geometri alam pikiran manusia dan The Cube

2 komentar:

  1. @Pola Ruang Al Qur'an.
    Tulisan anda terlalu panjang dan lebar seperti mobil conteiner namun tidak mengena ke inti atau tidak menggambarkan seperti apa mobil conteiner itu. Seharusnya inti yang menjadi pandangan umum itu ada pada judul dan berikutnya adalah rincian satu persatu dari inti tersebut, serta terakhir adalah kesimpulannya. Jadi ada tiga bagian dalam menulis dan ini sudah dicontohkan dalam alquran. Dibidang sistimatik surat, susunan surat pertama menjadi inti yang dalam hal ini adalah surat alfatihah, kemudian dirinci penjelasan satu persatunya oleh surat-surat panjang dan diakhiri kesimpulannya oleh surat-surat pendek. Ini dikemas menjadi satu buku / kitab.

    Nah, dibidang sistimatik ayat, ayat pertama menjadi inti, dan rincian satu persatunya di jelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya, lalu diakhiri kesimpulannya oleh ayat-ayat terakhir. Kaedah tersebut merupakan salah satu disiplin nilai Ilmiah dalam menjelaskan baik melalui ucapan maupun tulisan. Artikel anda ini tidak memenuhi kaedah tersebut jadi belum bisa dikatakan bernilai Ilmiah. Bagaimana pembaca dapat memahami dengan baik jika susunan penjelasannya berantakan tidak memenuhi nilai-nilai ilmu yang memadai, sementara tantangan di dunia ini sangat bertambah berat. Sebagai contoh kecil coba lihat lagi Judul yang anda tulis "Pola Ruang Al Qur'an". Di bait pertama seharusnya menjelaskan makna istilah yang anda gunakan untuk judul. Sudah selesai, barulah melangkah ke rincian satu persatunya. Inipun harus menggambarkan satu bentuk berfikir dari mana fikiran dan kemana fikiran tersebut di tujukan secara sistimatis, analitis dan objectif.

    Yah masih banyak lagi ya sebenarnya bakul conteiner diatas yang harus di revolusikan. Namun tergantung mau tidaknya pelaku untuk mencari tahu cara memperbaikinya. Sebenarnya saya ingin meninggalkan Link Blog saya di sini, tapi lain kali saja saya kembali sambil melihat-lihat melalui nilai tulisan barangkali kita bisa menyatukan persepsi. Salam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah,
      Saya benar benar kecemplung dalam sebuah kontainer.
      Minimal saya berusaha menjembatani perbedaan Jabariyah dan Qadariyah hanya dengan menggambarkan garis garis lantai keramik.
      Sebenarnya tidak memiliki kapabilitas dalam menulis hal ini tapi tetap saya coba.
      Coba berdiskusi dengan beberapa teman namun kebanyakan sudah memiliki pola geometri pikirannya sendiri.
      Judulnya terlalu berat dan isinya berantakan dan itulah keadaan saya saat berada di dalam kontainer.
      Ini sesuatu yg luar biasa yg harus saya hadapi.
      Semoga Allah memberikan pertolongan.

      Hapus